Mundurnya Presiden Partai Keadilan (PK) Nurmahmudi Ismail telah mengawali rangkaian Musyawarah Nasional partai tersebut yang akan dilaksanakan pada 18-21 Mei 2000. Langkah ini mendatangkan banyak spekulasi dan tanda tanya, sebagian malah bernada kecaman, terutama kepada Pak Nur yang dianggap lari dari tanggungjawab serta berkhianat karena berniat masuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Padahal dalam tubuh PK, hal ini biasa saja dan semuanya diputuskan melalui musyawarah yang bulat. Inilah kultur PK.

Tetapi, reaksi masyarakat dapat dimaklumi, karena PK memang partai baru. Karena itu, tulisan ini bersama beberapa tulisan lainnya hendak mengangkat wacana tentang PK ke hadapan publik agar dengan itu PK semakin terpahami dan kelak Insya Allah menjadi pilihan masyarakat Indonesia.

Anak-anak sekolahan


(Mantan) Presiden PK Nurmahmudi Ismail sekarang berusia 39 tahun, Sekjen PK Muhammad Anis Matta berusia 31 tahun, dan saya sebagai salah seorang deklarator PK berumur 28 tahun. Inilah usia rata-rata aktivis PK. Pada awal 90-an mereka umumnya sedang bersekolah, sebagai santri, siswa, dan mahasiswa (sarjana dan pascasarjana). Pada saat itulah mulai sebuah gagasan untuk berjamaah, berkumpul dalam suatu kesadaran akan pentingnya membina diri secara fisik, mental, dan spiritual. Kesadaran ini berlanjut menjadi semacam gerakan purifikasi. Di sekolahan, terutama kampus, muncul kelompok-kelompok kajian Islam yang sangat puritan dan menjadikan sejarah nabi dan sahabat sebagai ingatan dasar. Mereka juga menggunakan media cetak, elektronik, dan internet sebagai sarana.

Nurmahmudi bisa menjadi contoh. Suatu hari, setelah PK dideklarasikan, seperti biasa saya pergi bermain ke rumah sosiolog dari UI Imam B Prasodjo. Di situlah Imam bertanya kepada saya tentang siapakah Nurmahmudi, orang yang tidak dikenal tapi tiba-tiba menjadi Ketua Partai (Presiden dalam istilah PK). Secara sepintas saya coba terangkan bahwa beliau (Pak Nur) pernah sekolah di Texas AM University di AS dan aktif dalam pengajian semasa di IPB dan juga di AS.

Setelah mendengar cerita saya, Imam seperti mengingat sesuatu dan mengajak saya masuk kamar kerjanya. Lalu ia menghidupkan komputer yang dibawanya selepas menyelesaikan program PhD di Brown University, AS. Imam nampaknya ingin menunjukkan kepada saya sebuah dialog yang pernah dilakukannya di ISNET (Islamic Network, salah satu mailinglist yang masyhur di kalangan mahasiswa Islam Indonesia di AS). Dialog itu ternyata dilakukan dengan seseorang yang bernama Nurmahmudi Ismail. Imam lalu mengkopi dialog itu (kalau tidak salah, isinya tentang hukum qishosh). Ketika saya konfirmasi ke Pak Nur, ia membenarkan bahwa Nurmahmudi Ismail dalam dialog itu adalah dirinya.

Di Tanah Air, dialog yang sama terjadi di kampus-kampus, pesantren, dan sejumlah sekolah, terutama di kota-kota besar. Belakangan, sejalan dengan arus reformasi, dialog itu terjadi pada hampir semua kalangan anak muda, secara langsung atau tidak langsung. Segala hal yang terkait dengan 'Islam dan persoalan hidup sehari-hari' dibahas dengan mengundang para ustadz atau sarjana agama (utamanya lulusan Timur Tengah dan pesantren), sebagai narasumbernya.

Ujung dari semua dialog itu adalah kesadaran bahwa perbaikan masyarakat (da'wah) harus dimulai dari diri sendiri (ini merujuk kepada hadits Ibda' binafsika). Karena itulah kita menyaksikan pada sepanjang dekade 90-an adanya gerakan pemurnian keagamaan di kalangan anak-anak muda, khususnya di perguruan tinggi negeri (PTN). Sebagai salah satu bentuk nyata misalnya pemakaian jilbab di kalangan siswi dan mahasiswi secara massif, karena jilbab adalah simbol memulai Islam dari diri sendiri di kalangan Muslimah. Gerakan inilah juga yang mempelopori demonstrasi mendesak pemerintah agar membolehkan pemakaian jilbab di sekolah, kampus, dan tempat kerja -- yang juga terjadi sepanjang awal dekade 90-an.

Di kalangan pria, upaya 'mulai dari diri sendiri' tentu tidak sekentara yang dilakukan oleh kalangan perempuan. Tetapi hal itu juga terjadi, di kalangan aktivis kampus era 90-an misalnya nampak sekali kebiasaan hidup yang 'nyunnah' atau melaksanakan sunnah Nabi Muhammad saw, dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari kebiasaan makan sampai pernikahan. Dalam pernikahan, para aktivis Muslim memprioritaskan aktivis muslimah yang berjilbab, dengan harapan agar memiliki kesadaran, visi, dan pemahaman yang relatif sama. Maka dimulailah suatu medium baru dalam da'wah yaitu keluarga dan rumah tangga.

Da'wah keluarga ditandai oleh maraknya pernikahan yang terjadi di kalangan anak-anak muda angkatan 80 dan 90-an. Prosesinya sedapat mungkin mengikuti sunnah nabi. Umumnya mereka tidak melalui apa yang pada kalangan anak muda sering disebut sebagai pacaran. Adapun pacaran diganti dengan ta'aruf, yaitu semacam perkenalan yang menunjukkan keseriusan sang pemuda untuk hidup berumah tangga. Demikian juga penyelenggaraannya diusahakan sesederhana mungkin dan mungkin, termasuk dalam penyelenggaraan hiburan saat resepsi pernikahan (walimah). Nasyid yang sudah menjadi trend saat ini biasanya menjadi pilihan utama karena murah dan mudah.

Kehidupan rumah tangga dipahami sebagai titik tolak bagi suatu keterlibatan lebih jauh dalam transformasi sosial di tingkat masyarakat. Karena itu, seseorang yang gagal menata keluarga dianggap akan gagal dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Maka di sinilah sebuah kesadaran baru dimulai yakni kesadaran politik yang bermula dari politik rumah tangga dan keluarga.

Da'wah politik

Partai Keadilan menyebut dirinya sebagai Partai Da'wah karena politik adalah salah satu bagian dari da'wah. Filosofi ini secara konsisten menjadi dasar bagi setiap aktivitasnya di seluruh bidang kehidupan. Dakwah dalam hal ini tidak hanya meliputi politik, tetapi juga sosial, ekonomi, hukum, dan kebudayaan. Tema-tema ini sesungguhnya telah mulai dibedah dalam diskusi-diskusi kelompok (usroh, mentoring), melalui media cetak dan elektronik, serta melalui internet seperti yang dilakukan Imam B Prasodjo dan Nurmahmudi ketika mereka menjadi mahasiswa di AS.

Jadi, dapatlah dipahami bahwa bagi mereka partai politik adalah keniscayaan karena da'wah harus memiliki kaki yang lengkap. Secara kultural, jaringan anak-anak muda yang lahir pada zaman Islam tidak terlalu mendapat tempat dalam kekuasaan itu telah eksis dan menjadi semacam budaya tanding (counter culture). Tetapi, budaya tanding tidak akan efektif jika kekuasaan politik melalui aparatur dan kaki tangannya terus saja mengkampanyekan budaya kemaksiatan. Kekuasaan politik pasti lebih kuat karena ia mewakili suara rakyat dan karena itu kekuasaan politik melakukan pengrusakan secara legal dan didukung oleh konstitusi.

Maka jaringan anak muda yang rata-rata baru lulus sekolah, dengan kepolosan sebagai anak sekolahan mengorganisir diri dalam sebuah partai politik secara sadar dengan berlandaskan kepada cita-cita besar bahwa suatu generasi harus bangkit secara bersama-sama dalam melawan tirani yang bercokol kuat dalam diri manusia. Maka lahirlah Partai Keadilan pada tanggal 15 Rabiul Akhir/9 Agustus 1998.

Partai ini lahir tanpa tokoh besar tetapi mengusung sebuah tema besar yaitu keadilan itu sendiri. Ketiadaan tokoh besar memang menjadikan aktivis PK nampak tidak fasih menjadi public figure. Tetapi, adalah waktu yang akan menjelaskan bahwa anak-anak muda itu akan menjadi 'energi' utama Indonesia Baru, karena energi mereka tidak akan terkuras untuk berdamai dengan masa lalu yang tidak bersih. Wallahua'lam.




 














 
Top