Kemenangan Sejati
Action & Wisdom Motivation Training
Alkisah, dalam sebuah dialog yang hebat antara Sun Tzu dengan Raja Ho Lu, ahli strategi ini menyatakan bahwa mengalahkan musuh tanpa berperang adalah kemenangan sejati. Sesungguhnya, memang inilah prinsip fundamental strategi perang Sun tzu.
Memang ada kata-kata demikian, "100 kali perang 100 kali menang". Tetapi kemenangan seperti ini bukanlah kemenangan puncak. Menurut Sun Tzu, mengalahkan musuh tanpa berperang, itu baru indah. Luar biasa!
Dalam bisnis, prinsip mengalahkan lawan tanpa berperang juga berlaku. Tetapi, fakta di lapangan justru memperlihatkan, banyak perusahaan gagal mengaplikasikan strategi ini.
Contoh: dalam persaingan bisnis, ada kalanya perusahaan yang sama besarnya habis-habisan beradu strategi untuk saling mengalahkan. Mereka menggempur konsumen dengan produk-produk yang bersaing ketat secara langsung. Mereka juga berusaha saling mengalahkan atau merebut perhatian konsumen dengan iklan besar-besaran.
Contoh lain, perusahaan besar yang menghabiskan energinya untuk menggarap habis perusahaan-perusahaan kecil yang muncul sebagai pesaing baru. Atau situasi sebaliknya, perusahaan yang masih baru memaksa adu kuat dengan perusahaan besar dan mapan. Perusahaan baru ini menghabiskan sumber dayanya untuk meladeni perang dengan musuhnya yang jauh lebih kuat. Ini sia-sia belaka.
Dari contoh-contoh di atas, kalaupun salah satu dari perusahaan akhirnya menang, sesungguhnya kemenangan itu dibayar dengan harga yang sangat mahal. Dalam situasi kompetisi yang begitu ketat, adakah cara menang bersaing tanpa berperang? Jawabnya tegas, ada!
Pilihannya adalah kerjasama, membangun aliansi bisnis, atau bahkan merger. Bagi dua atau lebih perusahaan besar yang semula habis-habisan bersaing, maka ketiga pilihan tersebut dapat mempersatukan kekuatan mereka menjadi kekuatan bisnis yang jauh lebih besar dan sulit ditandingi.
Bagi perusahaan besar yang merangkul perusahaan kecil, maka kekuatannya pun bertambah dan ancaman pun hilang. Sementara perusahaan kecil yang bergabung atau bekerjasama dengan perusahaan besar, sudah pasti akan selamat dari ancaman dihabisi oleh perusahaan besar.
Inilah hakikat strategi menang tanpa berperang. Inilah kemenangan yang sejati. Win-win solution!
hidup sezaman dengan dinosaurus sekitar 75 juta tahun yang lalu. Pada waktu itu manusia belum ada di bumi. Zaman berubah, dan sekarang kita tahu dinosaurus punah sudah sedangkan kucing mampu beradaptasi dan eksis hingga kini. Si kucing kini hidup di rumah manusia, disayangi, bahkan dipeluk-peluk oleh para pencintanya. Apa yang dilakukan kucing yaitu belajar secara kontinual dan menyesuaikan diri secara cerdas dengan lingkungan barunya, secara esensial, adalah melaksanakan ajaran Peter M. Senge penulis The Fifth Discipline, untuk menjadi seekor hewan pembelajar.
Tanpa berguru pada Senge, kucing telah berhasil menjadi a learning animal yang dikagumi. Boleh dikatakan kucing adalah simbol keberhasilan adaptif, yang oleh karena karakter belajarnya, berhasil beradaptasi secara kontinual dan jenial. Sedangkan si Dino menjadi simbol kebebalan yang arogan dan naif; melawan gelombang perubahan dan menggali kuburnya sendiri.
Dalam krisis besar di negara kita belakangan ini, kita dapat mengelompokkan orang dan organisasi dalam dua macam kategori di atas. Manusia kucing dan manusia dino. Organisasi kucing dan organisasi dino. Secara empirik, kelihatannya jenis dino lebih banyak ketimbang jenis kucing. Karena itu kita ingin belajar bagaimana menjadi insan, perusahaan, atau organisasi adaptif, yang dengan gaya kucing berhasil belajar secara kontinual jenial yang olehnya kita dapat mencapai kesuksesan, sekarang dan di masa depan.
APA ITU BELAJAR? Saya merumuskan belajar sebagai aktivitas untuk meningkatkan pengertian atau kesadaran kita tentang diri sendiri (self-awareness), dunia sekitar kita (cosmo-awareness), termasuk kesadaran tentang Tuhan dan dunia gaib (theo-awareness) dan relasi ketiganya (relationship-awareness) ke tingkat yang lebih dalam dan tinggi, sehingga oleh kelengkapan dan ketajaman pengertian itu, kita dimungkinkan untuk melakukan tiga hal:
Hidup dengan harmoni, relevansi, dan aktualitas level tinggi dengan dunia sekitar kita (saya sebut sebagai principle of relevance);
Mendayagunakan potensi dunia sekeliling tersebut untuk menciptakan seperangkat nilai organik dan bermanfaat yang dapat kita sajikan pada dunia sekeliling, yang olehnya kita mendapat nilai tukar yang sepadan (saya sebut sebagai principle of innovation); dan
Terus menerus mampu meningkatkan mutu sajian nilai di atas, yang pada gilirannya memperbesar nilai tukarnya dari dari dunia sekeliling kita itu (saya sebut sebagai principle of quality).
Mampu melakukan tiga hal di atas, tidak lain tidak bukan, berarti mencapai keberhasilan. Dapat disimpulkan bahwa belajar membuat kita sukses. Inilah esensi dari learning for success. Hal ini benar secara personal, benar pula secara organisasional dan sosial. Sekaligus dengan pengertian ini, saya dapat merumuskan tiga tingkat kesuksesan.
Strategi Adaptif dalam Era Penuh Perubahan (2)
(Bagian Kedua)
MANUSIA PEMBELAJAR
Manusia pembelajar adalah basis bagi organisasi pembelajar yang kemudian menjadi basis lagi untuk masyarakat pembelajar. Di atas telah didefinisikan bahwa belajar adalah kegiatan perluasan kesadaran secara tajam tentang diri sendiri, dunia sekitar, dan keterkaitan keduanya yang memampukan kita meningkatkan relevansi, inovasi, dan kualitas diri kita, produk kita dan organisasi kita.
Jadi hakikat menuju sukses adalah membangun manusia pembelajar (learning individu). Persoalan terbesar dalam upaya pengembangan manusia pembelajar (dan karena itu organisasi pembelajar) adalah fakta bahwa manusia itu malas belajar. Sebabnya sederhana, belajar itu pada dasarnya susah.
Belajar secara fundamental terdiri dari dua kegiatan, un-learning dan pro-learning, yaitu menanggalkan ilmu lama dan pada saat yang sama menyerap ilmu baru. Menanggalkan paradigma lama dan serentak mengadopsi paradigma baru. Melepaskan ideologi lama sekaligus menganut ideologi baru. Membuang konsep lama serta menerima konsep baru.
Belajar jelas menjadi sulit karena menanggalkan yang lama-lama itu tidak mudah sama sekali, karena kita sudah nyaman dan aman dalam pelukannya. Di sini un-learning adalah sebuah penderitaan, karena kita dituntut untuk menanggalkan kedamaian dan ketenteraman yang sudah akrab. Dalam belajar, untuk paling tidak sejenak, kita harus berada di ruang ketidakpastian, yang bagi banyak orang adalah sebuah kebingungan yang tidak nyaman.
Lebih banyak orang bersikukuh dengan pendapat lama, paradigma lama. Kadangkala paradigma lama ini demikian berkarat sehingga hampir mustahil melepaskannya. Mereka terjebak dalam apa yang disebut sebagai kebekuan paradigma, dimana mereka mengalami tunnel vision dan akhirnya jatuh ke dalam fanatisme yang sempit. Ironisnya mereka tidak tahu bahwa mereka sedang sakit. Orang semacam ini mustahil belajar. Diperlukan sebuah krisis maha besar untuk membuat orang begini mau berubah, menerima kenyataan baru, dan beradaptasi. Sayangnya dalam kebanyakan kasus, waktu tidak berpihak lagi pada mereka. They learn too slow, too little, and too late.
Pro-learning di pihak lain, adalah sebuah kerja keras, yakni pengerahan energi bio-psiko-spiritual dari dalam diri kita untuk mengerti diri kita dan dunia sekeling kita.
Mengerti diri sendiri (improving self-awareness) adalah sebuah perjalanan ke dalam diri sendiri, menjelejahi dan menziarahi hati dan pikiran kita yang terdalam. Namun ternyata jalannya tidak menurun, melainkan menaik. Tepatnya, perjalanan ini adalah sebuah pendakian batin-intelektual sampai kita tiba di sebuah ketinggian kesadaran yang memungkinkan kita mempunyai perspektif yang luas akan kehidupan ini sendiri. Jika kita tiba di tempat tinggi itu maka kita menjadi orang bijaksana. Kita mampu melihat kenyataan dan panorama kehidupan secara lengkap, ada dunia bio-fisikal, ada dunia mental-psikologikal, ada dunia moral-spiritual, ada dunia sosio-komunal lengkap dengan sub-ruangnya seperti ekonomi, politik, keluarga, agama, budaya, hankam, dan sebagainya.