Peran Disiplin dalam Nation Building    
Pada artikel sebelumnya kita telah bahas masalah kepemimpinan dan juga kita singgung masalah kedisiplinan. Kali ini kita akan bahas bagaimana masalah kedisiplinan dan pengaruhnya terhadap ketahanan dan tegaknya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masih ingat apa yang saya sampaikan sebelumnya, bahwa kedisiplinan itu jantung kehidupan bangsa. Jika tidak memiliki kedisiplinan, maka bangsa ini akan hancur. Hukum tidak bisa ditegakkan.
Mari tengok bagaimana pemerintahan Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, sampai SBY yang berusaha keras membangun gerakan disiplin nasional. Bagaimana hasilnya? Siapa pun yang concern dengan masalah disiplin, pasti mengelus dada.

Contoh sederhana, lihat bagaimana disiplin berlalu-lintas di Jakarta sebagai jendela Indonesia. Saat berhenti di lampu merah, berapa banyak kendaraan menerobos lampu merah, berhenti di zebra cross menghalangi penyeberang jalan, atau justru memacu kendaraan sekencang-kencangnya saat lampu kuning?
Setiap hari, lebih dari 90% pengguna jalan melanggar sopan-santun berlalu-lintas. Dan saat kampanye pemilu lalu, pelanggaran itu justru semakin menjadi-jadi.
Di mana lagi letak wibawa hukum dan aparat pemerintah Republik ini? Hukum dan peraturan seperti diinjak-injak tanpa perasaan. Ini kemunduran moral bangsa yang luar biasa!
Bagaimana sebuah bangsa mau berdiri tegak sama terhormatnya dengan bangsa-bangsa lain, jika konsdisi kedisiplinannya seperti ini? Siapa yang harus bertanggung jawab atas kemunduran moral bangsa ini? Bukan tanggung jawab si Anu, si Ini atau si Itu, tetapi tanggung jawab kita bersama.
Tidak ada negara yang bisa berdiri tegak tanpa kedisiplinan. Siapa yang tidak kagum dengan kedisiplinan masyarakat Jepang, Korea, atau Singapura? Mengapa bangsa Indonesia belum bisa lepas dari krisis, salah satu sebabnya adalah karena kurangnya kedispilinan.
Sebab itu, saya mengajak, mulai saat ini mari kita membiasakan berdisiplin diri. Dengan disiplin diri, mari menjadi bagian dari sebuah mesin besar bernama Indonesia, yang bergerak maju menuju masa kejayaannya.
Dalam setiap hal dan bidang yang kita kerjakan, mari teguhkan roh kedisiplinan. Anda, saya, dan kita semua, mari menjadi rantai penegak kedisiplinan demi membangkitkan bangsa Indonesia. Peran kita tidak akan pernah sia-sia.
Peran Disiplin dalam Kepemimpinan    
Action & Wisdom Motivation Training

Dalam sejarah ahli strategi perang Sun Tzu diceritakan sebuah episode di mana sang jenderal perang ini ingin membuktikan keefektifan sebuah kepemimpinan dikaitkan dengan kedisiplinan dan ketegasan. Dalam kisah tersebut digambarkan Sun Tzu bermaksud melatih kedisplinan sekitar 180 wanita istana. Sun Tzu mengajarkan rasa disiplin dengan melatih mereka cara baris berbaris. Namun perintah Sun Tzu diabaikan oleh seluruh wanita yang dilatihnya. Ini akibat ulah dua gundik Raja Ho Lu yang dijadikan pemimpin barisan yang tidak mau melaksanakan perintahnya. Demi menegakkan wibawa dan kepemimpinannya, Sun Tzu mengambil langkah yang sangat tegas. Ia memerintahkan supaya dua gundik istana itu dihukum penggal kepala di hadapan wanita-wanita yang mengabaikan perintahnya.
Raja Ho Lu pun terkesima dengan ketegasan Sun Tzu yang berani memerintahkan untuk memenggal kepala dua gundik kesayangannya. Sun Tzu menjalankan ketegasan itu demi tegaknya wibawa dan efektifitas kepemimpinan seorang Panglima Perang. Ia buktikan, disiplin harus diteggakkan sekalipun harus bertentangan dengan kehendak Raja.
Dalam dialog dengan Raja junjungannya tersebut, Sun Tzu menegaskan, "Maju tanpa mengharapkan pahala, mundur tanpa takut dihukum." Inilah gambaran totalitas seorang Panglima Perang dalam melaksanakan tugas junjungannya. Dia sangat tegas dan sangat berani. Dia menunjukkan profesionalisme yang tinggi serta wibawa sebuah jabatan di mata pelaksana perintah. Perintah seorang Panglima perang adalah hukum yang harus dilaksanakan dengan disiplin yang keras.
Dalam pemikiran Sun Tzu, kepemimpinan harus mencakup lima sifat, yaitu kearifan, ketulusan, kebapakan, keberanian, dan ketegasan. Kearifan berarti kemampuan mengenali perubahan keadaan dan bertindak tepat.
Ketulusan berarti kemampuan untuk bisa dipercaya sepenuhnya oleh bawahan. Kebapakan berarti memiliki kemampuan human relationship. Keberanian berarti memiliki kepastian dan keteguhan dalam mengambil keputusan atau bertindak. Dan ketegasan berarti kemampuan menegakkan kedisiplinan yang mendatangkan rasa hormat.
Apa yang ditunjukkan oleh kisah Sun Tzu itu adalah sebuah kualitas kepemimpinan yang efektif, di mana sifat keberanian dan ketegasan dalam menegakkan hukum serta kedispilinan menjadi fondasi utamanya.
Hukum tidak akan jalan tanpa kedisiplinan. Jika hukum tidak jalan, maka wewenang dan kekuasaan juga macet. Kekuasaan yang macet membuat siapa pun yang berkuasa tidak memiliki wibawa, tidak bisa menjalankan fungsinya, dan akhirnya ditinggalkan oleh pengikutnya. Inilah kehancuran sebuah kepemimpinan.
Masalah penegakan hukum dan kedisiplinan ini sangat vital peranannya. Tidak saja di militer, tetapi juga di seluruh bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedisiplinan adalah jantung kehidupan sebuah bangsa. Bangsa yang tidak memiliki kedisiplinan akan hancur. Sebab tanpa kedisiplinan, hukum tidak bisa ditegakkan. Bagaimana masalah kedisiplinan ini mempengaruhi runtuh atau tegaknya sebuah bangsa, kita akan bahas pada kesempatan berikutnya.
Kemenangan Sejati    
Action & Wisdom Motivation Training

Alkisah, dalam sebuah dialog yang hebat antara Sun Tzu dengan Raja Ho Lu, ahli strategi ini menyatakan bahwa mengalahkan musuh tanpa berperang adalah kemenangan sejati. Sesungguhnya, memang inilah prinsip fundamental strategi perang Sun tzu.
Memang ada kata-kata demikian, "100 kali perang 100 kali menang". Tetapi kemenangan seperti ini bukanlah kemenangan puncak. Menurut Sun Tzu, mengalahkan musuh tanpa berperang, itu baru indah. Luar biasa!
Dalam bisnis, prinsip mengalahkan lawan tanpa berperang juga berlaku. Tetapi, fakta di lapangan justru memperlihatkan, banyak perusahaan gagal mengaplikasikan strategi ini.
Contoh: dalam persaingan bisnis, ada kalanya perusahaan yang sama besarnya habis-habisan beradu strategi untuk saling mengalahkan. Mereka menggempur konsumen dengan produk-produk yang bersaing ketat secara langsung. Mereka juga berusaha saling mengalahkan atau merebut perhatian konsumen dengan iklan besar-besaran.
Contoh lain, perusahaan besar yang menghabiskan energinya untuk menggarap habis perusahaan-perusahaan kecil yang muncul sebagai pesaing baru. Atau situasi sebaliknya, perusahaan yang masih baru memaksa adu kuat dengan perusahaan besar dan mapan. Perusahaan baru ini menghabiskan sumber dayanya untuk meladeni perang dengan musuhnya yang jauh lebih kuat. Ini sia-sia belaka.
Dari contoh-contoh di atas, kalaupun salah satu dari perusahaan akhirnya menang, sesungguhnya kemenangan itu dibayar dengan harga yang sangat mahal. Dalam situasi kompetisi yang begitu ketat, adakah cara menang bersaing tanpa berperang? Jawabnya tegas, ada!
Pilihannya adalah kerjasama, membangun aliansi bisnis, atau bahkan merger. Bagi dua atau lebih perusahaan besar yang semula habis-habisan bersaing, maka ketiga pilihan tersebut dapat mempersatukan kekuatan mereka menjadi kekuatan bisnis yang jauh lebih besar dan sulit ditandingi.
Bagi perusahaan besar yang merangkul perusahaan kecil, maka kekuatannya pun bertambah dan ancaman pun hilang. Sementara perusahaan kecil yang bergabung atau bekerjasama dengan perusahaan besar, sudah pasti akan selamat dari ancaman dihabisi oleh perusahaan besar.
Inilah hakikat strategi menang tanpa berperang. Inilah kemenangan yang sejati. Win-win solution!



 
Top