Penulis duduk tersandar diselasar gedung, selepas menunaikan tugas-tugas rutin digedung wakil rakyat mendampingi kader-kader terbaik Dakwah berjuang diranah siyasi, sembari memandang tetesan air yang menari kegirangan seolah merayakan pendaratannya dibumi.
Fikiran pun melayang, menembus gugusan hari-hari silam. Sekelebat terbayang kenangan dakwah yang amat berkesan. Yaa amat berkesan. Penulis ingat betul, dipenghujung tahun 2003 itu penulis dan seorang akh melakukan jaulah kesebuah perkampungan dipinggiran bekasi, tepatnya desa bantarsari kecamatan Pebayuran. Kami sudah ada janji dengan tokoh masyarakat disana dengan agenda sosialisai partai tercinta, Partai Keadilan Sejahtera.
Dengan berbekal beberapa potong kaus partai yang kami beli dengan uang hasil saweran teman-teman pengurus DKM tempat kerja penulis dahulu. Bahkan diantara mereka ada yang sampai berhutang hanya karena ingin berkontribusi.
Dengan mengendarai motor Honda Supra yang terlihat masih mengkilat karena baru hitungan bulan Penulis "khitbah" dari sebuah dealer motor dengan "mahar" 3,75 juta rupiah hasil tabungan istri plus mahar ketika kami menikah, kami pun menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 15 km.
Padahal hari mulai senja dan awan hitam bergulung pertanda hujan segera turun. Sampai dirumah tokoh yang kami maksud itu kira-kira menjelang magrib dan hujan turun dengan derasnya. Setelah sejenak beramah-tamah dan shalat maghrib berjamaah, kami pun minta izin pulang meski malam merayap dan gemercik rintik hujan masih turun.
Kami memacu motor meski sesekali terseok karena licinnya jalan berlumpur selepas hujan mengguyur. Jarak antara desa bantarsari dengan desa lainnya sekitar 4 kilometer, dengan kondisi jalan rusak berlumpur diantara lahan persawahan, tak ada pemukiman penduduk.
Hingga akhirnya sepeda motor yang kami tumpangi tak lagi bisa melaju karena ban-nya tersumbat jalan berlumpur. Hampir saja kami putus asa tak dapat melanjutkan perjalanan, namun dikejauhan nampak setitik cahaya dikeremangan malam. Cahaya itu bergerak mendekat kearah kami, dan kami yakin betul cahaya itu berasal dari lampu senter. Jantung kami berdegup kencang teringat cerita-cerita warga setempat tentang begal (penyamun) yang sering berkeliaran diwilayah tersebut. Hingga kira-kira jarak antara kami dan sumber cahaya itu sekitar 5 meter, meski rembulan temaram tertutup awan, kami bisa melihat mereka berjumlah tiga orang.
"Assalamu 'alaikum..?" Ya, mereka mengucapkan salam. "Wa'alaikum salam" jawab kami hampir berbarengan meski rasa heran dan penasaran bergumul dalam hati kami. Jika betul dugaan kami, mungkinkah ada penyamun yang melakukan aksinya mengucapkan salam terlebih dahulu pada korbanya?
"Motor antum mogok akhi? Kami bantu dorong, ya?" Dari kental dialek bahasanya kami yakin betul mereka adalah seorang kader. Tapi mungkinkah didaerah seterpencil dan tak ada "tanda-tanda kehidupan" tersebut ada kader dakwah?
Seolah tak peduli dengan raut wajah penuh rasa penasaran yang tergurat diwajah kami, mereka asyik membantu kami melepaskan gumpalan lumpur tanah liat yang menempel di ban motor kami. Dan langsung mendorongnya sampai jalan semi aspal di desa berikutnya.
Sesampainya disana salah seorang dari mereka memberikan sepasang sandalnya pada teman penulis yang hilang terlepas karena "hebatnya" perjalanan tadi. Kemudian mereka pamit dan sejenak berlalu dari hadapan kami yang masih tertegun dengan segunung pertanyaan dihati tentang ihwal mereka yang tak terucap. Mereka berlalu tanpa kami sempat untuk sekedar bertanya siapa mereka.
Hingga kini pertanyaan itu masih belum menemukan jawabnya. Meski terhitung beberapa kali kami bersilaturahim ketempat dulu bersosialisasi, melalui jalan yang sama. Tak ada "jejak" mereka. Yaa akhi, ma'afkan kami yang abai mengucap kata terima kasih, apatah lagi membalas budi baik antum.
Semoga catatan kecil ini mewakili rasa terima kasih kami teriring do'a semoga kiranya Allah SWT berkenan mempersuakan kita kembali. Agar paling tidak kami bisa mengganti sandal yang antum pinjamkan. Semoga.
Sumber : Islamedia
Rusdy Haryadi
@rusdy_haryadi