HIZBIYAH
Dalam al Lisan juz 1
halaman 299 disebutkan bahwa al hizb maknanya ada-lah sekelompok manusia
dan bentuk jama’nya adalah ahzab. Setiap teman dan pembela yang
se-ide dengan seseorang maka ia dianggap sebagai kelompoknya. Dengan kata lain
jika satu kaum, hati dan perbuatannya bersera-sian maka mereka adalah satu
golongan walaupun antara satu dengan yang lain belum pernah bertemu dan yang
pasti tujuan atau kemauan mereka sama.
Berkata Ibnu Faris dalam mu’jam maqayis al-lughah juz 1 hal
55: huruf ha’ ( ), zay ( ) dan ba’ () adalah suatu kata dasar yang maknanya
adalah berkumpulnya sesuatu, termasuk sekumpulan dan kelompok manusia.
Sebagaimana difirmankan Allah (QS. Ar-Rum: 32):
Dalam Ash-Shihhah 1/109 bahwa yang dimaksud kelompok seseorang
adalah para sahabatnya, al-hizb juga punya
arti al-wird (pasukan, sekawanan). Al-Qur’an juga
diklasifikasikan (dengan istilah hizb, penj). Al-hizb adalah ath-thaifah,
dan istilah ahzab biasa digunakan untuk kelompok-kelompok yang
bersepakat memerangi para nabi.
Inilah diantara makna-makna hizbiyah.
Kalimat hizb tercantum dalam al Qur’an kadang dihubungkan dengan lafazh
Allah sebagaimana firmanNya (QS. Al-Maidah: 56):
Dan dalam teks lain dihubungkan dengan
syetan, seperti yang difirmankan Allah (Al-Ahzab: 56):
Demikian pula dalam hadits shahih riwayat Al-Bukhari 5/205
dari Aisyah x bahwasannya istri-istri nabi dipisahkan menjadi dua kelompok,
satu kelompok terdiri dari Aisyah, Hafshah dan Saudah sementara kelompok lain
terdiri dari Ummu Salamah dan istri-istri beliau yang lain.
Dari sini jelas sekali bahwa hizbiyah (berkumpul/berkelompok) dan tahazzub (masuk ke suatu kelompok)
bukanlah perkara yang terpuji ataupun tercela secara mutlak, namun harus
dilihat dulu kemana ia menggolongkan diri atau menginduk. Jika kepada apa-apa
yang diperintahkan Allah dan rasuNya maka ia terpuji dan jika kepada yang
menyelisihinya maka ia tercela, juga tercela apabila sebagian mencocoki
perintah Allah dan sebagian lagi menyelisihi. Yang terpuji hanyalah yang karena
Allah, untuk Allah dan diatas perintah Allah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah dalam al-Fatawa 11/92: Pemimpin
kelompok adalah orang yang memimpin suatu golongan sehingga terbentuklah sebuah
komunitas (hizb). Jika mereka semua berkumpul diatas apa-apa yang diperintahkan
Allah dan rasulNya tanpa menambah dan mengurangi maka mereka orang mukmin,
mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai sesama muslim. Namun jika
mereka membuat tambahan ataupun mengurangi seperti ta’asub (fanatik)
kepada orang yang satu kelompok tanpa melihat ia dalam kebenaran atau
kebatilan, lalu memusuhi yang bukan golongannya baik itu haq atau batil maka
hal ini termasuk tafarruq atau memecah belah agama yang dibenci oleh
Allah. Karena Allah dan rasulNya telah
memerintahkan untuk bersatu dan rukun serta melarang berpecah belah dan
saling berselisih. Juga memerintahkan kita agar tolong menolong dalam kebaikan
dan takwa serta melarang dari saling menolong dalam dosa dan pelanggaran.
Jika telah jelas bagi kita pengertian dan macam hizbiyah, maka bukan
termasuk akhlak Islam, bukan pula termasuk menasehati untuk Islam dan kaum muslimin jika seseorang menuduh hizbiyah
sesama muslim tanpa membe-rikan penjelasan dan rincian tentang hizbiyah
bagaimana yang dimaksudkan, jika memang salah dan sesat dimana letak kesalahan
dan kesesatannya.
Seorang alim yang rabbani adalah orang yang membimbing para peng-ikutnya
untuk bersikap kasih sayang terhadap sesama kaum muslimin secara umum dan lebih
khusus kepada yang teguh memegang sunnah.
Perbedaan pendapat memang dibolehkan selagi dalam perkara-perkara yang
sifatnya ijtihadi atau sering dikenal dengan khilafiyah. Akan tetapi
jika sudah menyangkut sunnah dan bid’ah maka tidak boleh tinggal diam dan wajib
mengingkari atau berlepas diri (bara’ah) darinya. Hanya saja ini juga
butuh syarat yaitu perkara tersebut memang disepakati oleh kalangan ahlus
sunnah sebagai sesuatu yang benar-benar bid’ah (yang mengha-ruskan bara’ah). Sebab
terkadang diantara para ulama ada yang meman-dang bahwa suatu perkara termasuk
sunnah, akan tetapi oleh ulama yang lain justeru dianggap bid’ah, namun tidak
sampai menimbulkan perpecahan dan saling benci diantara mereka. Contoh dari
kasus ini adalah perbedaan pendapat tentang qunut dalam shalat Shubuh,
bersedekap setelah rukuk, menggerakkan jari dalam tasyahud, jumlah tangga
mimbar, menjaharkan basmalah dalam shalat dan masih banyak kasus lain yang
serupa.
Secara ringkas penyebab utama adanya hizbiyah (biasanya) adalah karena
sudut pandang terhadap kebenaran yang hanya difokuskan pada satu sisi saja lalu
meremehkan segi-segi lain atau meninggalkannya secara total, bahkan sampai pada
tingkat memusuhi. Alasannya bahwa prioritas kebenaran dan amal terpenting
adalah apa yang dilakukan oleh kelompoknya.
Setiap muslim memang selalu ingin agar perbuatan yang ia kerjakan merupakan
amalan yang paling utama, sehingga ia bersungguh-sungguh terhadapnya dan
memperbanyak amalan tersebut untuk mencapai ridha Allah dengan keyakinan bahwa
ia telah melakukan perbuatan yang utama dihadapanNya. Permasalahan ini biasa
terjadi dikalangan kaum muslimin, dan Islam sendiri juga mengakui masalah ini,
yakni adanya satu bentuk amal syar’i yang lebih utama dari amal yang lain.
Berkata Ibnu Mas’ud: ”Aku bertanya kepada Rasulullah n: “Amal apakah yang
paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya”, lalu
aku bertanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau bersabda: “Birul walidain”, aku
bertanya lagi: “Lalu apa?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah.” (HR
Al Bukhari dan Muslim).
Sejarah juga telah mencatat bahwa perbedaan tentang amalan yang paling
utama pernah terjadi juga pada masa shahabat. Demikian pula dalam kebangkitan
Islam terdapat banyak perbedaan tentang amalan mana yang paling utama sehingga
muncul orang yang ahli (spesialis) dalam ilmu tertentu, meski demikian antara
yang satu dengan yang lain tidak saling mengharamkan. Diantara mereka ada yang
menekuni ilmu nahwu, aqidah, ada pula yang cenderung pada ilmu hadits, yang
lain lagi lebih memilih jihad dan sebagainya.
Pergerakan Islam dimasa kini jika kita amati juga tak luput dari persoalan
ini. Ada sekelompok orang yang sibuk dengan dakwah dan tabligh sehingga
hampir-hampir tidak memiliki kesem-patan untuk mencari ilmu. Ada pula kelompok
yang hanya terus menerus belajar saja karena mencari ilmu adalah paling utama
menurut mereka. Sementara yang lain berpendapat bahwa kedua-duanya adalah
harus, kapan dapat ilmu segera didakwahkan, tidak perlu menunggu hingga ilmunya
banyak dan sempurna. Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa memperbaiki aqidah
adalah prioritas utama, namun ada pula yang berpendapat bahwa yang didahulukan
adalah memperbaiki moral dan membersihkan jiwa dan masih banyak lagi
pendapat-pendapat yang lain, demikianlah kenyataan yang kita hadapi saat ini.
Dan jika kita perhatikan kesemua amalan itu merupakan tujuan dan sasaran dari
risalah yang mulia.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah:
”Sebagian orang memandang bahwa suatu amal itu lebih berhak untuk
diutamakan karena memang sesuai dengan kondisi orang tersebut dan juga karena
amalan tersebut paling bermanfaat bagi hatinya dan paling bernilai taat kepada
Rabbnya. Ia ingin agar apa yang ia kerjakan memang dinilai sebagai amal yang
utama oleh manusia dan ia perintahkan mereka agar ikut melakukannya.”
Maksudnya adalah bahwa setiap muslim berhak untuk menentukan amal mana yang
memang paling baik dan bermanfaat baginya. Oleh karenanya ada yang menekankan
dalam masalah ilmu, ada pula yang mengutamakan jihad dan ada pula yang menekuni
ibadah badaniyah seperti shalat, puasa dan sebagainya sesuai kondisi masing-masing
yang bersangkutan. Adapun keutamaan yang mutlak adalah keseluruhan yang
mencocoki perbuatan Nabi n.
Allah memerintahkan kita masuk Islam secara kafah (menyeluruh), juga
menjelaskan sifat orang mukmin adalah beriman terhadap kitab Al-Qur’an seluruhnya
tidak sebagaimana Yahudi yang beriman kepada sebagian al-Kitab serta
mengingkari sebagian yang lain, tidak pula
seperti orang yang melupakan sebagian peringatan yang diturunkan kepada
mereka sehingga Allah menjadi-kan mereka bermusuhan dan saling benci. Nabi n
juga memerintahkan kita memberikan hak segala sesuatu sesuai haknya. Beliau
juga menerangkan bahwa agama ini akan tegak jika semua sisi ditegakkan.
Berkelompok dalam kebaikan tidak mengapa selagi tidak berlebihan sehingga
menutup mata terhadap segi-segi lain dari agama Islam serta tidak meninggalkan
amalan-amalan yang lain, sebab semuanya adalah bagian dari agama. Contoh
kelompok yang dibolehkan adalah, kelompok pemikiran Islam yang kita kenal
dengan sebutan madzhab, lembaga-lembaga pendidikan spesialis ilmu-ilmu Islam
tertentu, atau (tambahan red.) semacam, yayasan, perkumpulan dan organisasi
yang berjalan di atas rel agama. Abu sufyan pernah berkata kepada Heraclius
mengenai risalah yang dibawa Nabi Muhammad n, beliau memerintahkan: “Beribadahlah
kalian hanya kepada Allah dan jangan menyekutukan Dia dengan suatu apapun, dan
tinggalkan apa-apa yang diucapkan nenek moyang kalian.” Beliau juga
memerintahkan kami untuk shalat, jujur, menjaga kehormatan serta menyambung
silatur rahim. (HR al-Bukhari)
Dalam riwayat tersebut Nabi memerintakan kita dengan tauhid dan keutamaan
akhlak dalam waktu yang bersamaan, artinya bahwa seluruh ajaran Islam adalah
merupakan satu kesatuan yang utuh. (Dept. Ilmiah)
Disarikan
dari kitab Al-Hizbiyah, ma laha wa ma a’alaiha, Syaikh Abdul Majid bin
Mahmud Ar-Raimi, Darul Gauts, Riyadh