"Ketika rakyat Indonesia untuk pertama kalinya menyusun sebuah partai politik dalam usaha membebaskan Indonesia dari penjajahan dengan nama Serikat Islam, Belanda mempergunakan seorang Arab dari Jatipetamburan, Jakarta, guna menulis satu buku yang bertujuan melarang Ummat Islam memasuki partai itu dengan nama "Kafful Awwam 'An Syarikatil Islam" (Melarang Rakyat Umum memasuki Serikat Islam).

    Untuk menentang buku yang beracun itu, pada tahun 1912 M [1330 H] seorang guru besar berasal dari Bukit Tinggi, Sumatera Barat, bernama Syeikh Ahmad Khatib, - yang oleh karena keahliannya dalam Agama Islam diangkat oleh Syarif Mekkah menjadi Imam dan Khatib Masjidil Haram - menulis sebuah buku dengan judul "Hassul 'Awwam 'Alad Dukhuli fi Syarikatil Islam" (Menghasung Rakyat Umum Memasuki Serikat Islam).
     Buku yang ditulisnya dalam bahasa Melayu itu sangat besar pengaruhnya di Indonesia waktu itu, mengingat kedudukan pengarangnya di Indonesia dan 'Alam Islami, sehingga dalam waktu pendek partai tersebut berkembang dengan pesatnya dan menjadi partai politik nasional pertama yang meliputi seluruh kepulauan Indonesia. Pengaruhnya menakutkan Belanda, sehingga terpaksa dalam masa perang dunia pertama, memberi janji akan memenuhi hasrat nasional Indonesia sesudah perang usai. Tetapi janji itu dimungkirinya sesudah Sekutu menang. 
     Sementara itu murid-muridnya yang berdatangan dari Indonesia (ke Tanah Suci) dipupuknya dengan semangat Islam yang berjiwa merdeka. Sehingga sekembali mereka ke tanah air, banyak yang meninggalkan jasa-jasa besar dalam perkembangan kesadaran nasional, seperti alm. Kiyai H. Ahmad Dahlan dengan gerakan Muhammadiyahnya dan Dr. Abdulkarim Amrullah (ayah Prof. Dr. Hamka) dengan gerakan Sumatera Thawalibnya, yang sebelum perang dunia kedua oleh pengadilan kolonial Belanda dijatuhi hukuman buangan ke Boven Digul dan oleh protesan rakyat dirobah ke Sukabumi, Jawa Barat.
     Demikian pula ketika berkobar peperangan jihad melawan Belanda di Aceh, seorang ulama besar lainnya yang mengajar di Masjidil Haram, yaitu Teuku Abdul Wahab Aceh, menyerukan kepada murid-muridnya : "Wahai murid-muridku yang setia, mati syahid melawan kapir di negerimu lebih baik daripada bermukim dan menuntut ilmu di Mekkah ini ! Dalam menghadapi 'Kapir' ini, Syeikh Ahmad Khatib menulis satu buku lagi dengan judul Assuyufu wal Khanajiru 'Ala Riqabi man Yad'u lil Kafiri" (Pedang dan Parang pemenggal Kuduk Orang Yang Memihak Kepada Orang Kafir). 
     Semangat kebangsaan yang berjiwa Islam yang dihembus-hembuskan Ulama-ulama besar dari Mekkah itu telah mempengaruhi Haji Agus Salim yang waktu itu ditempatkan Belanda di Mekkah sebagai Konsul Muda. Beliau demikian tertarik sehingga mempelajari bahasa Arab dan Agama Islam dengan mendalam dan meninggalkan jabatannya. Sekembali ke Indonesia beliau langsung memasuki partai Serikat Islam dan akhirnya menjadi pemimpin terkemuka dan diplomat ulung yang telah mengikuti perjoangan bangsanya dari semula sampai kepada kemenangan".




 
Top