PROLOG
Sumber Gambar dari siniTarbiyah siyasiyah dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pendidikan politik. Politik secara umum didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sistem negara, baik yang menyangkut proses menentukan ataupun melaksanakan tujuan dari sistem yang ada. Konsep pokok dalam mendefinisikan politik secara garis besar dapat dilihat berdasarkan objek yang dikaji, yaitu:





  1. Negara (institutionalism approach)
  2. Kekuasaan (power approach)
  3. Pengambilan keputusan (decision making approach)
  4. Kebijakan masyarakat (public policy approach)
  5. Pembagian (distribution)
Kemudian, dari kelima hal di atas, maka ruang lingkup politik kontemporer dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (Teori klasik Aristoteles).
  2. Politik adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
  3. Politik adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan baik secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
  4. Politik adalah segala hal yang berkaitan dengan proses perumusan dan pelaksanaan kegiatan.
Politik dalam Islam
Makna siyasah jika dikaitkan dengan masyarakat maka dapat diartikan sebagai pemeliharaan (riayah), perbaikan (ishlah), pemberian petunjuk (taqwim), dan pendidikan (ta’dib). As-siyasah apabila dikaitkan dengan urusan kaum muslimin atau sering disebut dengan as-siyasah syar’iyyah dapat diartikan sebagai segala upaya untuk memperhatikan urusan kaum Muslimin, dengan jalan menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Hal ini sejalan dengan hadist Nabi, “Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka dia bukan dari golongan mereka” (HR. Thabrani)
Kaidah Dasar dalam Sistem Politik Islam
  1. Kepemimpinan (khilafah). Khilafah/kepemimpinan menjadi isu krusial dan tema sentral dalam sistem politik Islam. Sedemikian krusialnya isu itu membuat para sahabat menunda pemakaman Nabi untuk berkumpul di Bani Tsaqifah. Mereka bermusyawarah untuk mengangkat pemimpin (khalifah) pengganti Nabi. Menurut Ahmad Dzakirin, kepemimpinan dalam perspektif khilafah lebih merefleksikan pemahaman terhadap nilai dan prinsip kepemimpinan yang benar menurut Islam ketimbang sebagai sebuah eksistensi maupun bentuk pemerintahan. Khilafah lebih merupakan substansi nilai yang bersifat tetap ketimbang perincian-perincian institusional yang bersifat dinamis.
  2. Karakter kepemimpinan Islam. Karakter kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan representasi. Mandat kepemimpinan dalam Islam tidak ditentukan oleh Tuhan namun dipilih oleh umat. Kedaulatan milik Tuhan namun sumber otoritas kekuasaan adalah umat Islam. Islam tidak mengenal jenis pemerintahan seperti yang dilakukan Eropa di Abad Pertengahan, sebab khalifah dipilih dan dapat diberhentikan oleh rakyat. Ibnu Hazm menyatakan bahwa para ulama bersepakat (ijma’) perihal wajibnya khilafah atau imarah (kepemimpinan) dan bahwa penentuan khalifah atau pemimpin menjadi kewajiban kaum Muslimin dalam rangka melindungi dan mengurus kepentingan mereka.
  3. Syarat Kepemimpinan dalam Islam. Berpijak pada pemahaman umum nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta pandangan ulama, setidaknya ada tiga syarat utama kepemimpinan dalam Islam, yakni integritas keilmuan, integritas moral (kesalehan individual) dan kemampuan profesional.
  4. Mekanisme pengangkatan kepemimpinan. Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak menetapkan mekanisme ataupun tata cara pemilihan kepala pemerintahan. Adapun mekanisme atau tata cara penetapan kepala pemerintahan bersandar kepada praktik yang disepakati para sahabat (ijma’) dalam menentukan pengganti sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Dari ijma’ para sahabat, maka dapat disimpulkan bahwa pendelegasian kekuasaan dalam sistem politik Islam mengacu kepada dua hal: 1)penetapan kekuasaan publik melalui metode pemilihan. 2)pemimpin menjalankan otoritasnya sesuai dengan kontrak politik (akad) antara dirinya dengan rakyat.
  5. Ahlul Halli wal Aqdi (sistem legislatif). Jika didefinisikan ahlul halli wal aqdi berarti orang-orang yang berhak mengangkat kepala negara dan membatalkan jika dipandang perlu. Mereka juga dikenal dengan nama ahlul ijtihad dan ahlul ikhtyar. Pada dasarnya ahlul halli wal aqdi adalah wakil rakyat yang menjalankan tugasnya mengontrol dan mengevaluasi kekuasaan.
Prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan dalam Islam
  1. Prinsip syuro’
  2. Prinsip keadilan
  3. Prinsip kebebasan
  4. Prinsip persamaan (al-musawah)

Demokrasi dalam Perspektif Dr. Hasan Turabi
Turabi menjelaskan bahwa konstruksi dan interpretasi syariat dapat terjadi dengan prinsip syuro. Meskipun pengertian denotatif Syuro dan Demokrasi sama namun secara konotatatif berbeda. Secara denotatif, keduanya merupakan wujud partisipasi publik dalam pembuatan keputusan politik. Demokrasi berkonotasi kedaulatan tertinggi berada pada rakyat dan sebaliknya dalam mekanisme Syuro, kedaulatan tertinggi di Tangan Tuhan sebagaimana diwujudkan dalam ketundukan manusia kepada nash-nash Illahiah. Dalam prinsip ini, setiap pemecahan problema sosial, ekonomi, politik, legalitas dan konstitusi senantiasa terkerangka dalam pondasi syariat.
Turabi menjelaskan perlu adanya reformulasi Syuro dan demokrasi. Dalam perspektif sejarah, Syuro tanpa substansinya identik dengan Demokrasi. Demokrasi pada awalnya dimaksudkan untuk para bangsawan Yunani. Bangsa Eropa kemudian mengubahnya menjadi pemerintahan rakyat dalam entitasnya yang kecil dan terbatas. Saat Eropa melebarkan sayap geografi politiknya maka demokrasi ditransformasikan dalam bentuk perwakilan langsung melalui parlemen. Untuk kepentingan tersebut, kemudian lahir teori kontrak sosial. Teori ini sebenarnya bersifat imajinatif dan dibuat untuk kepentingan demokrasi. Disebutkan, masyarakat mendelegasikan kekuasaannya pada pemerintah dengan konsesi-konsesi tertentu sebagai gantinya.
Dalam perspektif Islam, ada dua kunci utama penyelenggaraan pemerintahan, yaitu Khilafah, Ijma’ dan Baiat. Khalifah adalah perwakilan umat yang dipilih oleh ahlul halli wal aqdi untuk mengawasi umat secara umum dan menjadi penyelenggara pemerintahan (kepala eksekutif). Sedang ijma’ (konsensus) adalah sumber otoritas keduniaan dari ahlul halli wal aqdi yang dipilih umat untuk mengangkat khalifah. Untuk pengikatnya, maka dibutuhkan ‘aqdul bai’ah (kontrak kesetiaan) antara masyarakat dan penguasa yang diangkat. Masyarakat mendelegasikan urusannya kepada pemimpin dan berkomitmen kepadanya.
Oleh karena itu, Turabi mengusulkan adaptasi dua istilah tadi dengan syarat analisis isi, redefinisi dan reformulasi terminologi ini sepenuhnya ditundukkan kepada nilai Islam. Adaptasi menyeluruh demokrasi tanpa memperhatikan konotasi linguistik, etik, sosial dan filosofinya akan menjadi tidak efektif. Hal ini terjadi karena secara faktual hanya memindahkan sejarah dan budaya orang lain ke tempat kita. Demikian pula, penolakan adaptasi ini membuat kita harus merekonstruksi awal dan membuang hikmah yang seharusnya dimiliki kaum Muslimin. Demokrasi yang diperkenalkan kepada umat Islam harus diikat dengan hukum Islam dan secara spesifik prinsip-prinsip Syuro. Dia mengakui bahwa Syuro tidak pernah menjadi sinonim praktikal dan konseptual bagi Demokrasi. Namun komponen esensial antara Syuro dan Demokrasi sama, yakni kebebasan dan persamaan.
Perbedaan konsepsi baru ini “Syuro Demokratik” dengan Demokrasi Barat bukan metodologis namun substantif. Yang pertama berakar pada Hakimiyyah Mutlak Allah, manusia (khalifah) adalah mandat umum. Sedang kedua, berpijak kepada manusia dan alam. Tanggung jawab individual yang pertama bersifat doktrinal dan metafisik sementara yang terakhir karena keberadaan hukum yang didelegasikan. Karena keyakinan Islam berbicara melalui kesadaran individual yang diletakkan dalam konteks sosial maka partisipasi individu dalam struktur kekuasaan pun adalah tuntutan kemanusiaan dan keyakinan Illahiah.
Tanggung jawab dan otoritas lantas diberikan kepada rakyat. Tanggung jawab dan otoritas ini diwujudkan dalam institusi parlemen dan melalui pemilu yang bebas. Dalam konteks ini, kebebasan penguasa lalu sangat dibatasi oleh kehendak masyarakat yang terwakili dalam majelis. Agar keputusan politik tidak menyimpang dari garis Islam maka dibutuhkan dewan konstitusi yang berhak membatalkan keputusan yang tidak Islami. Al Qur’an adalah standard an kekuasaan puncak dalam menilai tindakan manusia, praktik penguasa, dewan legislatif dan yudikatif.




 
Top