PROLOG
Tarbiyah siyasiyah
dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pendidikan politik.
Politik secara umum didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh sistem negara, baik yang menyangkut proses menentukan
ataupun melaksanakan tujuan dari sistem yang ada. Konsep pokok dalam
mendefinisikan politik secara garis besar dapat dilihat berdasarkan
objek yang dikaji, yaitu:
- Negara (institutionalism approach)
- Kekuasaan (power approach)
- Pengambilan keputusan (decision making approach)
- Kebijakan masyarakat (public policy approach)
- Pembagian (distribution)
Kemudian, dari kelima hal di atas, maka ruang lingkup politik kontemporer dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (Teori klasik Aristoteles).
- Politik adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
- Politik adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan baik secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
- Politik adalah segala hal yang berkaitan dengan proses perumusan dan pelaksanaan kegiatan.
Politik dalam Islam
Makna siyasah jika dikaitkan dengan masyarakat maka dapat diartikan sebagai pemeliharaan (riayah), perbaikan (ishlah), pemberian petunjuk (taqwim), dan pendidikan (ta’dib). As-siyasah apabila dikaitkan dengan urusan kaum muslimin atau sering disebut dengan as-siyasah syar’iyyah dapat diartikan sebagai segala upaya untuk memperhatikan urusan kaum Muslimin,
dengan jalan menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan
musuh kafir dari mereka. Hal ini sejalan dengan hadist Nabi, “Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka dia bukan dari golongan mereka” (HR. Thabrani)
Kaidah Dasar dalam Sistem Politik Islam
- Kepemimpinan (khilafah). Khilafah/kepemimpinan menjadi isu krusial dan tema sentral dalam sistem politik Islam. Sedemikian krusialnya isu itu membuat para sahabat menunda pemakaman Nabi untuk berkumpul di Bani Tsaqifah. Mereka bermusyawarah untuk mengangkat pemimpin (khalifah) pengganti Nabi. Menurut Ahmad Dzakirin, kepemimpinan dalam perspektif khilafah lebih merefleksikan pemahaman terhadap nilai dan prinsip kepemimpinan yang benar menurut Islam ketimbang sebagai sebuah eksistensi maupun bentuk pemerintahan. Khilafah lebih merupakan substansi nilai yang bersifat tetap ketimbang perincian-perincian institusional yang bersifat dinamis.
- Karakter kepemimpinan Islam. Karakter kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan representasi. Mandat kepemimpinan dalam Islam tidak ditentukan oleh Tuhan namun dipilih oleh umat. Kedaulatan milik Tuhan namun sumber otoritas kekuasaan adalah umat Islam. Islam tidak mengenal jenis pemerintahan seperti yang dilakukan Eropa di Abad Pertengahan, sebab khalifah dipilih dan dapat diberhentikan oleh rakyat. Ibnu Hazm menyatakan bahwa para ulama bersepakat (ijma’) perihal wajibnya khilafah atau imarah (kepemimpinan) dan bahwa penentuan khalifah atau pemimpin menjadi kewajiban kaum Muslimin dalam rangka melindungi dan mengurus kepentingan mereka.
- Syarat Kepemimpinan dalam Islam. Berpijak pada pemahaman umum nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta pandangan ulama, setidaknya ada tiga syarat utama kepemimpinan dalam Islam, yakni integritas keilmuan, integritas moral (kesalehan individual) dan kemampuan profesional.
- Mekanisme pengangkatan kepemimpinan. Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak menetapkan mekanisme ataupun tata cara pemilihan kepala pemerintahan. Adapun mekanisme atau tata cara penetapan kepala pemerintahan bersandar kepada praktik yang disepakati para sahabat (ijma’) dalam menentukan pengganti sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Dari ijma’ para sahabat, maka dapat disimpulkan bahwa pendelegasian kekuasaan dalam sistem politik Islam mengacu kepada dua hal: 1)penetapan kekuasaan publik melalui metode pemilihan. 2)pemimpin menjalankan otoritasnya sesuai dengan kontrak politik (akad) antara dirinya dengan rakyat.
- Ahlul Halli wal Aqdi (sistem legislatif). Jika didefinisikan ahlul halli wal aqdi berarti orang-orang yang berhak mengangkat kepala negara dan membatalkan jika dipandang perlu. Mereka juga dikenal dengan nama ahlul ijtihad dan ahlul ikhtyar. Pada dasarnya ahlul halli wal aqdi adalah wakil rakyat yang menjalankan tugasnya mengontrol dan mengevaluasi kekuasaan.
Prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan dalam Islam
- Prinsip syuro’
- Prinsip keadilan
- Prinsip kebebasan
- Prinsip persamaan (al-musawah)
Demokrasi dalam Perspektif Dr. Hasan Turabi
Turabi menjelaskan bahwa konstruksi dan interpretasi syariat dapat terjadi dengan prinsip syuro. Meskipun pengertian denotatif Syuro
dan Demokrasi sama namun secara konotatatif berbeda. Secara denotatif,
keduanya merupakan wujud partisipasi publik dalam pembuatan keputusan
politik. Demokrasi berkonotasi kedaulatan tertinggi berada pada rakyat
dan sebaliknya dalam mekanisme Syuro, kedaulatan tertinggi di Tangan Tuhan sebagaimana diwujudkan dalam ketundukan manusia kepada nash-nash Illahiah.
Dalam prinsip ini, setiap pemecahan problema sosial, ekonomi, politik,
legalitas dan konstitusi senantiasa terkerangka dalam pondasi syariat.
Turabi menjelaskan perlu adanya reformulasi Syuro
dan demokrasi. Dalam perspektif sejarah, Syuro tanpa substansinya
identik dengan Demokrasi. Demokrasi pada awalnya dimaksudkan untuk para
bangsawan Yunani. Bangsa Eropa kemudian mengubahnya menjadi pemerintahan
rakyat dalam entitasnya yang kecil dan terbatas. Saat Eropa melebarkan
sayap geografi politiknya maka demokrasi ditransformasikan dalam bentuk
perwakilan langsung melalui parlemen. Untuk kepentingan tersebut,
kemudian lahir teori kontrak sosial. Teori ini sebenarnya bersifat
imajinatif dan dibuat untuk kepentingan demokrasi. Disebutkan,
masyarakat mendelegasikan kekuasaannya pada pemerintah dengan
konsesi-konsesi tertentu sebagai gantinya.
Dalam perspektif Islam, ada dua kunci utama penyelenggaraan pemerintahan, yaitu Khilafah, Ijma’ dan Baiat. Khalifah adalah perwakilan umat yang dipilih oleh ahlul halli wal aqdi
untuk mengawasi umat secara umum dan menjadi penyelenggara pemerintahan
(kepala eksekutif). Sedang ijma’ (konsensus) adalah sumber otoritas
keduniaan dari ahlul halli wal aqdi yang dipilih umat untuk mengangkat khalifah. Untuk pengikatnya, maka dibutuhkan ‘aqdul bai’ah
(kontrak kesetiaan) antara masyarakat dan penguasa yang diangkat.
Masyarakat mendelegasikan urusannya kepada pemimpin dan berkomitmen
kepadanya.
Oleh karena
itu, Turabi mengusulkan adaptasi dua istilah tadi dengan syarat analisis
isi, redefinisi dan reformulasi terminologi ini sepenuhnya ditundukkan
kepada nilai Islam. Adaptasi menyeluruh demokrasi tanpa memperhatikan
konotasi linguistik, etik, sosial dan filosofinya akan menjadi tidak
efektif. Hal ini terjadi karena secara faktual hanya memindahkan sejarah
dan budaya orang lain ke tempat kita. Demikian pula, penolakan adaptasi
ini membuat kita harus merekonstruksi awal dan membuang hikmah yang
seharusnya dimiliki kaum Muslimin. Demokrasi yang diperkenalkan kepada
umat Islam harus diikat dengan hukum Islam dan secara spesifik
prinsip-prinsip Syuro. Dia mengakui bahwa Syuro tidak pernah menjadi sinonim praktikal dan konseptual bagi Demokrasi. Namun komponen esensial antara Syuro dan Demokrasi sama, yakni kebebasan dan persamaan.
Perbedaan konsepsi baru ini “Syuro Demokratik” dengan Demokrasi Barat bukan metodologis namun substantif. Yang pertama berakar pada Hakimiyyah Mutlak Allah, manusia (khalifah)
adalah mandat umum. Sedang kedua, berpijak kepada manusia dan alam.
Tanggung jawab individual yang pertama bersifat doktrinal dan metafisik
sementara yang terakhir karena keberadaan hukum yang didelegasikan.
Karena keyakinan Islam berbicara melalui kesadaran individual yang
diletakkan dalam konteks sosial maka partisipasi individu dalam struktur
kekuasaan pun adalah tuntutan kemanusiaan dan keyakinan Illahiah.
Tanggung
jawab dan otoritas lantas diberikan kepada rakyat. Tanggung jawab dan
otoritas ini diwujudkan dalam institusi parlemen dan melalui pemilu yang
bebas. Dalam konteks ini, kebebasan penguasa lalu sangat dibatasi oleh
kehendak masyarakat yang terwakili dalam majelis. Agar keputusan politik
tidak menyimpang dari garis Islam maka dibutuhkan dewan konstitusi yang
berhak membatalkan keputusan yang tidak Islami. Al Qur’an adalah
standard an kekuasaan puncak dalam menilai tindakan manusia, praktik
penguasa, dewan legislatif dan yudikatif.